Minggu, 05 September 2010

:) BERINTROSPEKSI DAN MEMBENAHI DIRI UNTUK MENGEJAR KETERTINGGALAN...

by Edi Bahari on Saturday, September 4, 2010 at 10:46pm

Mengejar Hidup Bahagia
KALAU sampai pecah konflik Indonesia versus Malaysia, siapa yang Anda bela? Hampir pasti jawabannya Anda membela Indonesia, negeri Anda. Tapi, jawabannya bisa sangat berbeda saat Anda dihadapkan pada pertanyaan, andai dilahirkan hari ini, Anda memilih negeri mana yang memberikan peluang hidup sehat, aman, serta sejahtera yang berkelanjutan?
Pertanyaan fundamental itulah yang menjadi dasar pemeringkatan seratus negara oleh majalah mingguan terkemuka Newsweek baru-baru ini. Pemeringakatan tersebut didasarkan pada lima kategori. Yakni, pendidikan, kesehatan, kualitas hidup, daya saing ekonomi, dan lingkungan politik.
Melibatkan para tokoh dan ahli terkemuka dari Amerika dan Asia, termasuk peraih penghargaan Nobel Ekonomi Joseph E.Stiglitz, hasil survei yang berlangsung berbulan-bulan itu menempatkan Finlandia, Swiss, Swedia, Australia, Luksemburg, Norwegia, Kanada, Belanda, Jepang, dan Denmark di posisi sepuluh besar. Indonesia berada di peringkat ke-73. Posisi tersebut terdapat di bawah beberapa negara Asia, termasuk di lingkup ASEAN, seperti Singapura (ke-20), Malaysia (ke-37), Thailand (ke-58), Tiongkok (ke-59), dan Filipina (ke-63).
Terlepas dari masih adanya beberapa kelemahan, makna penting yang bisa diambil dari pemeringkatan terbaru tersebut, indikator ekonomi, seperti produk domestik bruto (GDP), bukan segalanya. Padahal, ukuran GDP itulah, antara lain, yang mengakibatkan Indonesia masuk sebagai anggota elite G-20 sehingga SBY bisa duduk semeja dengan Barack Obama, Angela Merkel, Nicolas Sarkozy, dan lain-lain. Sesuatu yang selama ini sangat kita bangga-banggakan.
Mengutip Jacques- Y ves Cousteau, peneliti dunia bawah laut dan lingkungan asal Prancis, fokus pada pertumbuhan produksi dan konsumsi yang menjadi ukuran GDP sering mengabaikan aspek-aspek yang terkait dengan kualitas hidup manusia. Padahal sukses pembangunan manusia yang hakiki bukanlah pemenuhan yang bersifat bendawi, melainkan penciptaan “kebahagiaan”.
Dari situlah mengapa peringkat negeri-negeri kecil seperti Swiss, Singapura, bahkan Kuba (ke-50) masih diatas negara-negara dengan GDP tinggi, seperti Tiongkok, Indonesia, dan India (ke-78). Standar layanan kesehatan, kuailitas lingkungan hidup, sistem pendidikan, tegaknya sistem hukum, tata laksana pemerintahan yang baik, kondisi bebas korupsi, dan lain-lain adalah hal-hal dasar yang dibutuhkan oleh warga untuk hidup lebih baik dan bahagia.
Banyak hal yang bisa kita ambil sebagai pelajaran dari hasil pemeringkatan majalah terkemuka Amerika tersebut. Dalam kasus “persaingan” dengan Malaysia, misalnya, kita harus jujur dan mengakui bahwa peringkat negeri tetangga itu memang lebih baik. Ambil contoh pengembangan mutu pendidikan dan riset. Untuk dua urusan tersebut, negara itu terlihat lebih serius.
Coba lihat berapa banyak peneliti Indonesia yang dulu kita sekolahkan ke Amerika, Australia, yang saat ini justru senang bekerja di Malaysia. Alasannya sederhana, Negeri itu punya konsep riset yang jelas. Selain itu, negeri jiran tersebut lebih menghargai kemampuan mereka dan mau menggaji mereka dengan lebih baik.
Di Indonesia, banyak hasil penelitian yang sekadar ditumpuk sebagai arsip. Selain itu, banyak penelitian hasil kerja sama perguruan tinggi dan lembaga pemerintah yang bersifat abal-abal. Sebab, yang penting dari penelitian seperti itu adalah bagi-bagi “uang” proyek. Penelitian asal-asalan seperti itu sudah jelas tak memberikan manfaat apa-apa bagi bangsa, tapi sekadar modus korupsi yang dibungkus tujuan “ilmiah”.
Masih banyak yang harus kita benahi di negeri ini. Ketidak tegasan kita terhadap Malaysia dalam sengketa perbatasan laut lalu, misalnya, merupakan bukti rapuhnya kita membangun manusia Indonesia yang “bahagia”. Hal tersebut tidak cukup hanya dijawab dengan melemparkan kotoran ke Kedubes Malaysia. Yang jauh lebih penting adalah berintrospeksi dan membenahi diri untuk mengejar ketertinggalan.(*)